Selasa, 11 Desember 2012

CONTOH SURAT GUGATAN SENGKETA TANAH DAN WARIS


GUGATAN SENGKETA TANAH DAN GUGATAN WARIS

Kepada Yth.
Ketua Pengadilan Agama Banyuwangi
Di Banyuwangi

Dengan hormat,

Yang bertanda tangan dibawah ini, XXXXX, SH, advokat berkantor di jalan Ijen No. 28 Singotrunan Banyuwangi, berdasarkan Surat Kuasa Khusus pada tanggal 01 Oktober 2012 dari dan oleh karenanya bertindak untuk dan atas nama : --------------------------------------

MARSELA, pekerjaan tani, bertempat tinggal di dusun Pancoran RT 014/012 Desa Ketapang Kecamatan Kalipuro, bertindak selaku wali dari anaknya yang masih dibawah umur bernama DEWI NIRMALA ( 9 tahun ) selanjutnya dalam hal ini sebagai : PENGGUGAT.-----------------------

Dengan ini penggugat mengajukan gugatan melawan :

  1. Bopal, pekerjaan tani, tempat tiggal di dusun Gunungremuk RT. 016/03 Desa Ketapang Kecamatan Kalipuro Kabupaten Banyuwangi, selanjutnya dalam hal ini sebagai : TERGUGAT I -----------------
  2. Andriyana, pekerjaan tani, bertempat tinggal di dusun Pancoran RT 013/03 Desa Ketapang Kecamatan Kalipuro Kabupaten Banyuwangi, selanjutnya dalam hal ini sebagai : TERGUGAT II ----
  3. Amalih, pekerjaan tani, bertempat tinggal di dusun Pancoran RT 011/03 Desa Ketapang Kecamatan Kalipuro Kabupaten Banyuwangi, selanjutnya dalam hal ini sebagai : TERGUGAT III ---------------
  4. Sahronah, pekerjaan tani, bertempat tinggal di dusun Pancoran RT 012/03 Desa Ketapang Kecamatan Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi, selanjutnya dalam hal ini sebagai : TERGUGAT IV ---
  5. Kepala Desa Ketapang, berkedudukan di Kantor Desa Ketapang Kecamatan Kalipuro Kabupaten Banyuwangi, selanjutnya dalam hal ini sebagai : TERGUGAT V ----------------
  6. Camat Kalipuro selaku PPAT Kecamatan Kalipuro, berkedudukan di kantor Kecamatan Kalipuro Kabupaten Banyuwangi, selanjutnya dalam hal ini sebagai : TERGUGAT VI ---------------

Dalam hal ini Tergugat I sampai dengan Tergugat VI mohon disebut sebagai : PARA TERGUGAT ---

Adapun dasar-dasar diajukannya gugatan ini adalah sebagaimana hal-hal berikut dibawah ini : --

1.   Bahwa pernah hidup pasangan suami-isteri bernama SAMAI dan SAKONAH, mempunyai anak 3 orang masing-masing bernama : -----------------------
1.1.Sudirman ( meninggal dunia tahun 2005 ) menikah dengan MARSELA ( penggugat ) mempunyai keturunan / anak 2 orang yaitu bernama : Andriyana ( Tergugat II ) dan Dewi Nirmala ( usia 9 tahun - oleh karenanya dalam perwalian ibunya )
1.2.Suginam ( meninggal dunia tahun 1973 ) tidak mempunyai keturunan / anak
1.3.Suhairoh ( meninggal dunia tahun 1964 ) tidak mempunyai keturunan / anak
Bahwa setelah Sakonah meninggal dunia pada tahun 1964 selanjutnya Samai menikah lagi dengan perempuan bernama Sahronah ( Tergugat IV ) dan mempunyai anak bernama Amalih ( Tergugat III )

2.     Bahwa dalam perkawinan antara Samai dengan Sakonah telah memperoleh harta bersama / gono-gini berupa sebidang tanah kering terleltak di Desa Ketapang dahulu Kecamatan Giri sekarang Kecamatan Kalipuro Kabupaten Banyuwangi, petok nomor 7311 persil 981 Klas D.II luas 3.980 meter persegi atas nama Samai, dengan batas-batas :
-          Sebelah utara         : tanah Bambang
-          Sebelah Timur       : jalan lingkar
-          Sebelah Selatan     : tanah Dulhadi
-          Sebelah Barat        : tanah Maskur
Selanjutnya dalam hal ini mohon disebut sebagai : Obyek Waris / Harta Peninggalan Alm. Samai dan Alm. Sakonah.

3.    Bahwa setelah Sakonah meinggal dunia pada tahun 1964 dan Samai meninggal dunia pada tahun 1989, maka tanah tersebut pada point (2) diatas seharusnya jatuh waris kepada ahli waris alm. Samai dan alm. Sakonah bernama Sudirman mendapat bagian seluas ¾ dari obyek waris, dan jatuh waris kepada Tergugat III selaku ahli waris dari alm. Samai mendapat bagian seluas ¼ dari luas tanah obyek waris. Ketika Sudirman meninggal dunia pada tahun 2005, maka tanah yang telah menjadi bagian hak alm. Sudirman jatuh waris kepada anak-anaknya yaitu Tergugat II dan Dewi Nirmala (dibawah perwalian ibunya dalam gugatan ini sebagai Penggugat) dengan bagian masing-masing : Tergugat II seluas ½ x ¾ dari luas tanah obyek waris dan Penggugat seluas ½ x ¾ dari luas tanah obyek waris.

4.    Bahwa tanpa sepengetahuan dari Penggugat selaku wali dari anaknya bernama Dewi Nirmala, Tergugat II, Tergugat III dan Tergugat IV, pada tanggal 2 Februari 2012 telah menjual sebagian tanah peninggalan alm. Samai dan alm. Sakonah tersebut pada point (2) seluas 1.360 meter persegi kepada Tergugat I dengan batas-batas :
-          Sebelah utara         : tanah bagian petok nomor 731
-          Sebelah Timur       : jalan lingkar
-          Sebelah Selatan     : tanah Dulhadi
-          Sebelah Barat        : tanah Maskur
Selanjutnya dalam hal ini mohon disebut sebagai : Tanah Sengketa, dan secara riil tanah tersebut telah dikuasai dan dinikmati oleh Tergugat I hingga saat ini.

  1. Bahwa oleh karenanya perbuatan Tergugat II, III dan IV menjual tanah sengketa kepada Tergugat I tanpa sepengetahuan dan tanpa ijin dan atau tanpa melibatkan Penggugat selaku pihak dalam jual-beli tersebut dengan dibantu oleh Tergugat V dan Tergugat VI adalah perbuatan melawan hokum. Dan karenanya jual beli tanah sengketa tersebut adalah mengandung cacat hukum sehingga harus dinyatakan batal demi hukum dan menjadi tidak berlaku, untuk selanjutnya tanah sengketa harus dikembalikan kepda posisi semula dengan menghukum Tergugat I untuk segera mengosongkan tanah sengketa dari harta bendanya dan menyerahkan secara baik-baik kepada para ahli waris alm. Samai dan alm. Sakonah.
  2. Bahwa akibat perbuatan melawan hukum yang telah dilakukan Para Tergugat terhadap tanah sengketa , sangat merugikan Penggugat sebagai salah satu ahli waris alm. Samai dan alm. Sakonah baik secara materiil maupun secara immaterial. Adapun kerugian tersebut harus dibayarkan oleh Para Tergugat kepada Penggugat dengan perincian sebagai berikut :
A.    Kerugian Materiil :
Bahwa tanah sengketa apabila disewakan perbulan sebesar Rp. 500.000,-- jadi sejak bulan Februari 2012 hingga saat gtgatan ini diajukan selama 9 bulan tanah sengketa dikasai dan dinikmati oleh Tergugat I, maka telah menghasilkan uang sebesar : 9 bulan x Rp. 500.000- = Rp. 4.500.000- (empat juta lima ratus ribu rupiah)
Bahwa diatas tanah sengketa berdiri 33 batang pohon kelapa yang sejumlah 26 pohon telah produktif dan yang 7 pohon belum berbuah, 4 batang pohon nangka dan 1 batang pohon jati. Tergugat I telah menebang 3 pohon kelapan produktif dan 1 pohon kelapa belum produktif, serta menebang 1 pohon jati, maka kerugian yang ditimbulkan adalah : 3 pohon kelapa produktif @ Rp.500.000,- = Rp.1.500.000- + 1 pohon kelapa tidak produktif @ Rp. 200.000- = Rp. 1.700.000- + 1 pohon jati @Rp.1.000.000,- = Rp. 2.700.000,- ( dua juta tujuh ratus ribu rupah )
Bahwa dari 23 pohon kelapa produktif setiap bulannya dihasilkan : 23 pohon x 40 buah = 920 buah kelapa x 9 bulan = 8.280 buah kelapa @Rp.1.000- = Rp.8.280.000- ( delapan juta dua ratus delapan puluh ribu rupiah )
 Bahwa kerugian materiil adalah sebesar : Rp. 4.500.000- + Rp. 2.700.000- + Rp. 8.280.000- = Rp. 15.480.000- ( lima belas juta empat ratus delapan puluh ribu rupiah ) yang harus dibayarkan oleh Para Tergugat kepada Penggugat secara tanggung renteng.

B.     Kerugian Immateriil :
Bahwa berdasarkan budaya masyarakat Madura yang memandang tanah sebagai harta pusaka yang harus dipertahankan kepemilikannya telah terampas olah perbuatan Para Tergugat, telah merupakan suatu penistaan terhadap kedudukan Penggugat dalam kehidupan bermasyarakat. Kedudukan bermasyarakat yang dialami Penggugat tersebut apabila dinilai dengan uang dalam batas yang wajar adalah sebesar Rp. 100.000.000,- ( seratus juta rupiah ) jumlah kerugian immaterial yang harus dibayarkan oleh Para Tergugat kepada Penggugat secara tanggung renteng.
  1. Bahwa tidak tertutup kemungkinan tanah sengketa akan dipindah-tangankan dalam bentuk apapun oleh Tergugat I kepada pihak lain, sehingga nantinya akan menimbulkan kerugian yang lebih besar bagi Penggugat dan nantinya pula akan mempersulit pelaksanaan putusan perkara ini, maka Penggugat mohon agar tanah sengketa dilakukan penyitaan ( sita-jaminan )
  2. Bahwa sengketa ini telah diupayakan penyelesaiannya secara musyawarah namun mengalami kebuntuan karena pihak Tergugat I bersikeras mempertahankan tanah sengketa untuk dinikmati dan dikuasainya. Maka tiada jalan lain terkecuali melalui upaya hukum dengan mengajukan gugatan di Pengadilan Agama Banyuwangi untuk menuntaskan permasalahan ini.
  3. Bahwa untuk menjamin dilaksanakannya isi putusan perkara ini kama terhadap Tergugat I dan Tergugat II harus dihukum membayar uang paksa atas keterlambatannya menjalankan isi putusan perhari keterlambatan sebesar Rp. 150.000,- kepada Penggugat terhitung sejak perkara ini memiliki putusan yang tetap.
  4. Bahwa olehkarenanya Penggugat mohon agar Pengadilan Agama Banyuwangi berkenan untuk menerima gugatan ini dan memeriksa serta mengadilinya, selanjutnya memberikan putusan yang amarnya berbunyi sebagai berikut :
1.      Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya ;
2.      Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah diletakkan atas tanah sengketa ;
3.      Menyatakan tanah obyek waris adalah harta gono-gini peninggal alm. Samai dan alm. Sakonah yang belum dibagi waris ;
4.      Menyatakan tanah sengketa adalah bagian dari obyek waris yang merupakan harta gono-gini alm. Samai dan alm. Sakonah ;
5.      Menyatakan Penggugat, Tergugat II adalah ahli waris alm. Samai dan alm. Sakonah yang berhak terhadap harta peninggalan almarhum orang tuanya, dan Tergugat III adalah ahliwaris alm. Samai yang berhak terhadap harta peninggalan alm. Samai (ayahnya). Dengan pembagian Penggugat mendapat ½ x ¾ dari luas tanah obyek waris, Tergugat II mendapat ½ x ¾ dari luas tanah obyek waris, dan Tergugat III mendapatkan ¼ dari luas tanah obyek waris ;
6.      Menyatakan jual beli atas tanah sengketa yang dilakukan oleh Tergugat II, III, IV selaku Penjual dibantu oleh Tergugat V dan Tergugat VI kepada Tergugat I selaku Pembeli adalah perbuatan melawan hukum, olehkarenanya jual-beli tersebut berikut surat-surat peralihan hak maupun surat kepemilikan yang diakibatkab karenanya harus dinyatakan batal demi hukum dan tidak berlaku ;
7.      Menyatakan olehkarenanya penguasaan tanah sengketa yang telah dilakukan oleh Tergugat I adalah perbuatan melawan hukum ;
8.      Menyatakan penguasaan tanah obyek waris / peninggalan alm. Samai dan alm. Sakonah oleh Tergugat II adalah perbuatan melawan hukum ;
9.      Menghukum Tergugat I atau siapa saja yang mendapatkan hak daripadanya untuk segera mengosongkan tanah sengketa dari harta bendanya selanjutnya menyerahkan secara baik-baik kepada para ahli waris alm. Samai dan alm. Sakonah apabila perlu dilakukan secara paksa dengan bantuan aparat keamanan ;
10.  Menghukum Tergugat II atau siapa saja yang mendapatkan hak daripadanya untuk segera mngosongkan obyek waris dari harta bendanya selanjutnya diposisikan sebagai harta bersama peninggalan alm. Samai dan alm. Sakonah untuk dilakukan pembagian sesuai dengan bagian warisnya kepada Tergugat II, Tergugat III dan Penggugat ;
11.  Menghukum para Tergugat untuk membayar ganti rugi materiil kepada Penggugat atas perbuatan melawan hukum yang telah dilakukannya menguasai tanah sengketa secara melawan hak, sebesar Rp.15.480.000- ( lima belas juta empat ratus delapan puluh ribu rupiah ) yang harus dibayarkan secara tanggung renteng  ;
12.  Menghukum para Tergugat untuk membayar ganti rugiim materiil kepada Penggugat atas perbuatan melawan hukum yang telah dilakukannya menguasai tanah sengketa secara melawan hak, sebesar Rp.100.000.000- (seratus juta rupiah ) yang harus dibayarkan secara tanggung renteng  ;
13.  Menghukum Tergugat I dan Tergugat II membayar uang paksa atas keterlambatan melaksanakan isi putusan perkara ini setiap hari sebesar Rp. 150.000- ( seratus lima puluh ribu rupiah ) kepada Penggugat terhitung sejak perkara ini memiliki kekuatan hukum yang tetap ;
14.  Menghukum Para Tergugat untuk membayar biaya-biaya xang ditimbulkan dalam perkara ini ;
Atau    : Mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono )

Demikian gugatan ini kami sampaikan dan atas perkenannya disampaikan terima kasih.

Banyuwangi, 01 Oktober 2012
Kuasa Penggugat

XXXXX, SH

ANALISIS UU PERKAWINAN

Analisis dan pembahasan terhadap bahan penelitian yang dilakukan selama penelitian berlangsung, guna mendapatkan jawaban atas masalah-masalah yang telah dirumuskan, dipaparkan lebih lanjut sebagai berikut:

1.    Analisis Undang-undang Perkawinan dari aspek asas perkawinan
Pasal 3 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tertulis sebagai berikut :
(1)    “ Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami “
(2)    “ Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan “.

Berdasarkan pasal ini perkawinan di Indonesia menganut azas monogami. Hal ini tidak berlaku apabila terjadi keadaan seperti dimana salah satu pasangan meninggal dunia, bahwa pasangan yang ditinggal mati itu bisa menikah lagi. Dan idealnya memang seorang suami untuk seorang istri, begitu juga sebaliknya.

  Perkawinan monogami yang berlaku mutlak hanya bagi istri, tetapi tidak mutlak bagi suami. Asas monogami tidak mutlak seperti tersebut pada pasal 3 ayat (2) nya memberikan  kelonggaran,  bahwa  pengadilan  dapat  memberi  izin  pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang (yang disebut poligami) apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan istri mengizinkan untuk itu.
Ketentuan ini membuka kemungkinan seorang suami dapat melakukan poligami dengan ijin pengadilan. Hal ini erat kaitannya dengan berbagai macam agama yang ada yang dianut oleh masyarakat karena ada agama yang melarang untuk berpoligami dan ada agama yang membenarkan atau membolehkan seorang suami untuk melakukan poligami. Khusus yang beragama Islam harus mendapat ijin dari pengadilan agama sesuai dengan  Pasal 51 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam dan yang beragama selain Islam harus mendapat ijin dari pengadilan negeri. Jadi hal ini tergantung dari agama yang dianut dan pengadilan yang berkompeten untuk itu.     ( M.Sholeh Alaidrus, Pelaksanaan Pembagian Harta Perkawinan Dalam Perkawinan Poligami ).

Untuk mendapatkan ijin dari pengadilan harus memenuhi syarat-syarat tertentu disertai dengan alasan yang dapat dibenarkan. Tentang hal ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 5 Undang- Undang  Perkawinan  dan  Peraturan  Pemerintah  Nomor  9  Tahun  1975  tentang  Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pengadilan  baru dapat memberikan  ijin kepada suami untuk berpoligami  apabila ada alasan yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan:
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan

Di samping syarat-syarat tersebut yang merupakan alasan untuk dapat mengajukan poligami   juga   harus   dipenuhi   syarat-syarat   menurut   Pasal  5   ayat   (1)   Undang-Undang Perkawinan, yaitu :
1. Adanya persetujuan dari istri / istri-istri
2. Ada kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anaknya
3.  Ada jaminan bahwa suami berlaku adil terhadap para istri dan anak-anaknya.
Persetujuan dari isteri/isteri-isteri ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.  Hal  yang  paling  penting  bagi  Pengadilan  dalam  memberikan putusan apakah seorang suami diperbolehkan beristeri lebih dari seorang atau tidak adalah apakah ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dari calon suami mengizinkan adanya poligami (beristeri lebih dari satu). ( M.Sholeh Alaidrus, Pelaksanaan Pembagian Harta Perkawinan Dlam Perkawinan Poligami ).

Poligami diberi tempat dengan terlihatnya beberapa pasal dan ayat yang  mengaturnya.  Namun  demikian bukan berarti bahwa poligami dijadikan asas dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal tersebut merupakan pengecualian saja, yang ditujukan khusus kepada  orang yang menurut hukum dan agama atau kepercayaan mengizinkan untuk itu, atau dengan kata lain, poligami dibolehkan tetapi dengan pembatasan yang cukup berat, yaitu berupa suatu pemahaman syarat dengan alasan tertentu dan izin pengadilan.

Poligami terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam yang masih berlaku atau masih dipakai sebagai pedoman bagi orang Islam yang menjalani suatu proses  perkawinan.  Tercantum dalam pasal 55 ayat (1) yang meyatakan bahwa seorang laki-laki yang boleh beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri, Dalam surat an-Nisa dimana syarat utama seorang suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya (pasal 55 ayat 2); apabila syarat utama tersebut tidak dipenuhi, suami dilarang untuk beristri lebih dari seorang (pasal 5 ayat 3). Pengadilan Agama mutlak diperlukan bagi sahnya seorang suami untuk beristri lebih dari seorang.

Praktik yang terjadi di masyarakat, banyak terjadi kasus perkawinan poligami yang pelaksanaannya  tidak mengajukan  permohonan  izin kepada Pengadilan.  Dalam hal ini, harus mengacu pada Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang  Perkawinan  yang menyatakan  bahwa perkawinan  adalah sah  apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini, apabila  terjadi  kasus  perkawinan  poligami  yang pelaksanaannya  tidak  mengajukan permohonan  izin  kepada Pengadilan,  maka perkawinan  poligami  itu di anggap  sebagai perkawinan  yang  tidak  sah  karena secara administratif tidak tercatat menurut hukum negara, sehingga akibat hukum yang timbul apabila terjadi kasus perkawinan poligami yang pelaksanaannya tidak mengajukan permohonan izin kepada Pengadilan, maka perkawinan poligami tersebut tidak bisa dicatatkan pada Pegawai Pencatat Perkawinan dan tidak bisa diterbitkan Akta Nikah.

Berdasarkan alasan mereka melakukan poligami misalnya karena istri tidak dapat memiliki keturunan secara biologis, istri tidak dapat melayani suami dengan baik, atau istri mempunyai penyakit yang tidak dapat disembuhkan, sehingga  istri mau tidak mau harus mengizinkan suaminya menikah lagi dengan wanita lebih muda. Untuk alasan ini, biasanya  istri tidak menyetujui suaminya menikah lagi sehingga suami ada dorongan melakukan perzinahan atau berselingkuh dengan wanita lain. 

Permasalahan  yang terjadi apabila istri  menolak  memberikan persetujuan dan permohonan ijin untuk beristri lebih dari satu, maka menurut pasal 59 Kompilasi hukum Islam, Pengadilan Agama dapat memberikan izin setelah mendengar dan memeriksa istri yang bersangkutan di Pengadilan Agama, dan terhadap ketetapan itu istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi. Tetapi pada kenyataannya, para istri merasa malu dan berat hati mengajukan banding atau kasasi terhadap keputusan Pengadilan Agama, yang menyangkut perkara poligami, dan masyarakat pada umumnya dianggap masih buta hukum dan belum mengerti akan hak-hak mereka secara hukum. Dan bila diartikan secara kumulatif, agaknya sulit didapat wanita  yang dengan sukarela  memberikan persetujuan kepada suaminya untuk beristri lebih dari satu orang.

Dalam kasus, alasan-alasan yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perkawinan dipenuhi oleh suami yang ingin beristri lebih dari satu, terbukti dari bukti-bukti yang ada yaitu :
a. Surat peryataan istri bersedia dimadu (P-3)
b. Surat pernyataan suami berlaku adil (P-4)
c. Surat  keterangan  kemampuan  atau  penghasilan  suami  guna  menjamin keperluan hidup istri dan anak-anak (P-5).
Atas bukti-bukti itulah, maka hakim menganggap cukup alasan untuk suami beristri lebih dari satu orang. Dan karena itu hakim menetapkan ijin kepada suami untuk beristri lebih dari satu (poligami). ( Dahlan Hasyim, Tinjaun Teoritis Asas Monogami Tidak Mutlak Dalam Perkawinan ).

Walaupun diperbolehkan dalam beberapa agama dan kebudayaan serta oleh undang-undang, poligami juga ditentang oleh sebagian kalangan. Terutama kaum feminis penentang poligami, karena mereka menganggap poligami sebagai bentuk penindasan kepada kaum wanita. Selain itu juga oleh beberapa kelompok masyarakat penggiat hak-hak perempuan yang menyampaikan alasan sebagai berikut :
  • Poligami merupakan bentuk subordinasi dan diskriminasi terhadap perempuan, hal  mana di dasarkan pada keunggulan/superioritas jenis kelamin tertentu atas jenis kelamin lainnya.
  • Pengakuan yang absah terhadap hirarki jenis kelamin dan pengutamaan privilis seksual mereka atas yang lainnya.
  • Ketentuan ini sangat bertentangan dengan prinsip – prinsip persamaan, anti diskriminasi serta anti kekerasan yang dianut dalam berbagai instrumen hukum yang ada. (UUD 1945, UU HAM, UU No.1/84, GBHN 1999, Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan)
  • Realitasnya banyak kasus poligami yang memicu bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) lainnya  yang dialami perempuan dan anak-anak, meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi.
  • Poligami sendiri merupakan bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dilegitimasi oleh hukum dan sistim kepercayaan yang ada di masyarakat.
  • Adanya fakta bahwa sejumlah perempuan menerima poligami tidak menghilangkan hakekat diskriminasi seksual dalam institusi poligami tersebut. Penerimaan mereka terhadap poligami adalah bentuk ‘internalized oppression’ , yang mana sepanjang hidupnya perempuan telah disosialisasikan pada sistem nilai yang diskriminatif.  (http://www.lbh-apik.or.id/amandemen uup-pokok pikiran.htm ). 

Namun bagi yang pro terhadap poligami ( baik dari kalangan pria maupun wanita ) mengatakan bahwa pernyataan poligami seringkali dianggap hampir sebagian besar wanita sebagai penindasan adalah sebuah pendapat yang jelas keliru. Poligami adalah suatu kewajaran dan diperbolehkan oleh agama (Islam). Hendaknya kaum wanita menyadari dengan sepenuhnya bahwa poligami adalah hak seorang pria dan merupakan ibadah yang jelas jelas lebih bermanfaat bagi perkembangan jumlah ummat manusia di kemudian hari. Penentangan terhadap poligami jelas jelas merupakan penentangan terhadap takdir hidup manusia. Poligami adalah sebuah keputusan terhormat dari seorang laki-laki yang ingin bertanggung jawab terhadap seorang perempuan lainnya dengan cara terhormat pula, yaitu menikah secara syah menurut hukum agama dan hukum nasional.

Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang menyatakan bahwa asas perkawinan adalah monogami, dan poligami diperbolehkan dengan alasan, syarat, dan prosedur tertentu tidak bertentangan dengan ajaran islam dan hak untuk membentuk keluarga, hak untuk bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, dan hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif sebagaimana diatur dalam UUD 1945 sebagaimana diutarakan dalam sidang pembacaan putusan perkara No. 12/PUU-V/2007 pengujian UU Perkawinan yang diajukan M. Insa, seorang wiraswasta asal Bintaro Jaya, Jakarta Selatan pada Rabu (3/10/2007).

Insa dalam permohonannya beranggapan bahwa Pasal 3 ayat (1) dan (2), Pasal 4 ayat (1) dan (2), Pasal 5 ayat (1), Pasal 9, Pasal 15, dan Pasal 24 UU Perkawinan telah mengurangi hak kebebasan untuk beribadah sesuai agamanya, yaitu beribadah Poligami. Selain itu, menurut Insa, dengan adanya pasal-pasal tersebut yang mengharuskan adanya izin isteri maupun pengadilan untuk melakukan poligami telah merugikan kemerdekaan dan kebebasan beragama dan mengurangi hak prerogatifnya dalam berumah tangga dan merugikan hak asasi manusia serta bersifat diskriminatif.
MK, dalam sidang terbuka untuk umum tersebut, menyatakan menolak permohonan M. Insa karena dalil-dalil yang dikemukakan tidak beralasan. Menurut MK dalam pertimbangan hukumnya, pasal-pasal yang tercantum dalam UU Perkawinan yang memuat alasan, syarat, dan prosedur poligami, sesungguhnya semata-mata sebagai upaya untuk menjamin dapat dipenuhinya hak-hak isteri dan calon insteri yang menjadi kewajiban suami yang berpoligami dalam rangka mewujudkan tujuan perkawinan.

Ahli M. Quraish Shihab pun menyatakan bahwa asas perkawinan yang dianut oleh ajaran islam adalah asas monogami. Poligami merupakan kekecualian yang dapat ditempuh dalam keadaan tertentu, baik yang secara objektif terkait dengan waktu dan tempat, maupun secara subjektif terkait dengan pihak-pihak (pelaku) dalam perkawinan tersebut.
Terkait dengan salah satu syarat poligami yang terpenting, yaitu adil, pendapat Ahli Huzaemah T. Yanggo yang dikutip dalam pertimbangan hukum putusan, menyatakan bahwa kaidah fiqh yang berlaku adalah pemerintah (negara) mengurus rakyatnya sesuai dengan kemaslahatannya. Oleh karena itu, menurut ajaran islam, negara (ulil amri) berwenang menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh warga negaranya yang ingin melakukan poligami, demi kemaslahatan umum, khususnya mencapai tujuan perkawinan.

Mengenai adanya ketentuan yang mengatur tentang poligami untuk WNI yang hukum agamanya memperkenankan perkawinan poligami, hal ini menurut MK adalah wajar. Oleh karena sahnya suatu perkawinan menurut Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan apabila dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Sebaliknya, akan menjadi tidak wajar jika UU Perkawinan mengatur poligami untuk mereka yang hukum agamanya tidak mengenal poligami. Jadi pengaturan yang berbeda ini bukan suatu bentuk diskriminasi, karena dalam pengaturan ini tidak ada yang dibedakan, melainkan mengatur sesuai degan apa yang dibutuhkan, sedangkan diskriminasi adalah memberikan perlakuan yang berbeda terhadap dua hal yang sama.                     ( http://id.wikipedia.org/wiki/poligami).

Tudingan yang menyudutkan bahwa sebagai bangsa yang beradab Indonesia seharusnya melarang poligami tidak dapat dibenarkan. Ini karena pembolehan poligami itu untuk kemaslahatan para pihak yang bersangkutan, bukan untuk melecehkan perempuan atau menguntungkan laki-laki saja. Buktinya adalah ketatnya dasar alasan dan persyaratan yang harus dipenuhi. Dalam hal ini, yang harus dipenuhi adalah aspek penegakan hukumnya.

Dalam pelaksanaannya, memang terdapat banyak sekali pelanggaran. Aturan hukum yang idealnya harus diterapkan sering kali disimpangkan. Banyak poligami dilakukan dengan tidak memenuhi dasar alasan dan keseluruhan syarat yang harusnya dipenuhi. (Di sisi lain, akibat ketatnya prosedur yang harus dilalui untuk berpoligami, masyarakat cenderung lebih senang memilih menikah siri atau bahkan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan. Tanpa disadari, melalui pernikahan siri atau pun hidup bersama tanpa nikah, si perempuan tidak memperoleh perlindungan hukum dari negara, seperti hak waris dan sebagainya.)

Salah satu syarat yang dilanggar itu misalnya: syarat persetujuan dari istri terdahulu. Umumnya, kasus yang terjadi adalah bentuk pemaksaan suami kepada istri agar membolehkannya menikah lagi, baik melalui pemaksaan secara halus maupun secara kasar. Dinyatakan [pemaksaan secara halus] bahwa apabila suami tidak diperbolehkan menikah lagi berarti memberi peluang kepada suami untuk berselingkuh atau pun bahkan berzina dengan perempuan lain. Pemaksaan lain berupa ancaman untuk meninggalkan istri dan keluarganya dengan cara memutuskan pemberian nafkah. Bahkan, ada kasus yang sampai melakukan ancaman kekerasan fisik untuk memperoleh persetujuan dari istri agar diperbolehkan menikah lagi. Kasus lain melalui bentuk pemalsuan surat persetujuan atau pun mencuri cap jempol saat sang istri tengah tidur.

Ada banyak faktor yang menjadikan poligami banyak terjadi dalam masyarakat tanpa mengindahkan kaidah hukum. Misalnya: kurangnya sosialisasi hukum, lemahnya penegakan hukum, tingkat pendidikan masyarakat, budaya, gaya hidup, atau pun keteladanan. [Faktor keteladanan inilah yang agaknya membuat kaum istri merasa resah manakala mendapati Aa Gym menikah lagi, apalagi secara diam-diam tanpa sepengetahuan Teh Ninih sang istri pertama.]

Di tengah masyarakat sendiri berkembang mitos seputar poligami, yaitu :
Mitos yang pertama, “ poligami dapat menghindarkan pelakunya dari selingkuh karena kebutuhan seksualnya akan bisa terpenuhi [tanpa perzinaan]. Mitos ini berkembang dari pemikiran sempit yang memandang wanita sebagai obyek seksual belaka “.
Mitos yang kedua, “ jumlah perempuan itu empat kali lebih banyak daripada jumlah laki-laki. Pada kenyataannya, sensus penduduk di berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa jumlah perempuan itu seimbang dengan jumlah laki-laki, terutama pada rentang usia produktif. [Ketidakseimbangan itu hanya terjadi pada masa seusai peperangan besar-besaran, seperti pada masa Perang Dunia.]”
Mitos yang ketiga, “ menjadi tugas perempuanlah mengurus rumah tangga dan bukannya bekerja di luar rumah. [Ketika lowongan kerja di luar rumah (dan bahkan di luar negeri) itu lebih terbuka bagi wanita, sang suami memperoleh alasan yang kuat untuk berpoligami.]”
Mitos yang keempat, “ aturan untuk berpoligami tidak ketat, kecuali bagi pegawai negeri. Mitos ini subur terutama pada tahun 1980-an [dan masih bertahan pada masa sekarang]”.
Mitos yang kelima, “ bersikap kritis terhadap poligami atau pun menolak untuk merelakan suami berpoligami dianggap menentang syariat Islam, bahkan menentang Tuhan. [Padahal, menurut syariat pula, poligami bukanlah kewajiban.]” (http://muhshodiq.wordpress.com).

Karena masih berupa mitos maka perlu penelitian dan pengkajian lebih lanjut tentang kebenarannya.
Penulis sendiri berpendapat bahwa asas monogami tidak mutlak yang terkandung dalam UU Perkawinan sudah tepat dengan kondisi sosial, budaya dan spiritual masyarakat Indonesia yang heterogen.
 
2.     Analisis Undang-undang Perkawinan dari aspek hak dan kewajiban suami isteri
Hak dan kewajiban suami isteri dalam hukum perkawinan di Indonesia di atur dalam pasal 30 sampai dengan pasal 34 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 30 menyebutkan :
“ suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat “.
Pasal 31 menyebutkan :
(1)    Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2)    Masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum
(3)    Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Pasal 33 menyebutkan :
“ suami isteri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain “.
Pasal 34 menyebutkan :
(1)    Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2)    Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
(3)    Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.

Dari pasal-pasal tersebut diatas, terdapat kata-kata ‘saling’ dan tuntutan keseimbangan dalam mendapatkan hak dan memenuhi kewajiban bagi suami-istri. Undang-undang dibuat untuk melindungi warga negaranya, sehingga apabila suami/istri melalaikan kewajibannya, pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan. Namun ada beberapa hal yang perlu dikritisi sehubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban suami isteri yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat. 

Dalam banyak keluarga di Indonesia ( khususnya keluarga islam ) , tidak sedikit wanita yang menikah dan dia  mempunyai pekerjaan, baik sebelum ia menikah maupun setelah ia menikah. Dan biasanya, menurut kebanyakan pendapat masyarakat perempuan yang menikah harus mengurusi suaminya dan rumah tangganya,  aksinya hanya sebatas di dapur, kamar, dan mengurus anak. Itu adalah pandangan yang salah dan merupakan kebudayaan yang harus dibenahi bersama, karena didalam undang-undang dan hukum agama islam pun tidak menyebutkan bahwa seorang perempuan harus mendapatkan perlakuan yang tidak seimbang dengan suami. Dan banyak hal yang mendukung hal itu, seperti pendapat 4 mazhab dan mazhab zahiri mengatakan bahwa isteri  pada hakikatnya tidak punya kewajiban untuk berkhidmat kepada suaminya. Dan pendapat itu didukung oleh dalil yang kuat. (http://islamfeminis.wordpress.com).

 Perkawinan dalam Islam, sebagaimana diketahui, merupakan sebuah kontrak antara dua pasang yang setara. Seorang perempuan sebagai pihak yang sederajat dengan laki-laki dapat menetapkan syarat-syarat yang diinginkan sebagaimana juga laki-laki. Sehingga dalam sebuah perkawinan antara laki-laki dan perempuan tidak terdapat kondisi yang mendominasi dan didominasi. Semua pihak setara dan sederajat untuk saling bekerja sama dalam sebuah ikatan cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah).

Dalam keluarga yang suami dan istri keduanya sama-sama menanggung beban mencari nafkah guna mencukupi kebutuhan keluarga, adalah tidak adil jika hanya wanita saja yang harus mengurus semua pekerjaan rumah. Karena urusan public (karier) bukan semata-mata untuk suami, namun isteri juga dapat menempatinya. Akan tetapi realitas yang ada dimasyarakat misalnya, pilihan antara keluarga dan pekerjaan sudah sering menjadi "wacana publik" dewasa ini. Namun sampai kini boleh dikatakan bahwa ibu (wanita) yang bekerja masih juga dianggap sebagai "penyebab" segala permasalahan yang ada dalam kehidupan rumah tangga. Padahal, tugas menyiapkan generasi penerus yang berkualitas adalah tugas bersama antara suami dan istri, baik dalam kesejahteraan, intelektualitas, spiritual maupun akhlaknya dan tidak ada yang lebih ditekankan siapa yang harus melaksanakannya.

Lemahnya kedudukan kaum perempuan di hadapan laki-laki disebabkan oleh hubungan jenis kelamin yang tidak seimbang antara suami dan istri. Oleh sebagian masyarakat dan ajaran agama, suami diberi hak yang besar karena suami mempunyai kedudukan lebih tinggi, ia adalah pemimpin dan pemberi nafkah bagi istri. Ketidakseimbangan  hubungan  ini  kemudian  juga  dikuatkan  oleh  pasal  31  dan  34 Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974.  Hal inilah yang menyebabkan munculnya superioritas suami atas istrinya. Dalam posisi ketergantungan tersebut khususnya dari segi ekonomi, kekerasan berdasarkan jenis kelamin (Gender) sangat mudah terjadi.  (Ratna Batara Munti. 1999. Perempuan sebagai Kepala Rumah Tangga. Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender ).

Beberapa kelompok masyarakat yang tergabung dalam penggiat hak-hak perempuan juga memberikan argumentasi menolak pembakuan peran stereotype perempuan - laki-laki seperti yang tertulis dalam pasal-pasal tersebut diatas, diantaranya sebagai berikut :
  • Pasal 31 ayat (3) tidak saja kembali mengukuhkan subordinasi perempuan, tetapi juga bertentangan dengan berbagai instrumen diatas, yang menegaskan prinsip persamaan kedudukan antara laki-laki dan prempuan.
  • Pasal 31 ayat (3) ini jelas bertentangan dengan realitas yang ada dimana jumlah perempuan yang menjadi kepala rumah tangga cukup besar dan meningkat dari tahun ke tahun. Namun, keberadaan kepala rumah tangga perempuan ini menjadi tidak diakui.
  • Selain itu, ia kenyataannya memberi dampak yang sangat merugikan bagi kelompok perempuan.
  • Dalam pasal 34 , Pembakuan peran ini mendorong proses pemiskinan perempuan: membuat salah satu pihak (istri)bergantung secara ekonomi terhadap pihak lainnya (suami). 
  • Dalam banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga, para istri yang menjadi korbannya tidak mudah keluar dari lingkaran kekerasan karena masalah ketergantungan ekonomi.
  • Sementara banyak kasus nafkah di pengadilan, meski diputuskan suami/mantan suami tetap berkewajiban memberi nafkah, tapi keputusan ini tidak berlaku efektif dan dikembalikan pada kemauan dari pihak suami/mantan suami.
  • Pengaruh di dunia kerja, nilai pekerja perempuan lebih rendah karena dianggap sebagai bukan pencari nafkah utama. Para istri yang bekerja sering disamakan dengan lajang, sehingga tidak mendapat tunjangan keluarga seperti yang diperoleh oleh rekannya laki-laki.  (http://www.lbh-apik.or.id/amandemenuup-pokok pikiran.htm ).
Selain itu banyak kalangan aktifis perempuan lainnya  menggugat keberadaan Undang-Undang Perkawinan yang bias gender, khususnya tentang pasal 31 ayat (3) UUP No.1 tahun 1974 yang secara tegas menyebutkan bahwa “suami sebagai kepala keluarga  dan  isteri  sebagai  ibu  rumah  tangga”,  serta  pasal  34  “suami  wajib melindungi isteri dan isteri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya”.

Menurut mereka, pasal tersebut memberi justifikasi bahwa kedudukan suami sebagai kepala rumah tangga (pemimpin) mempunyai tanggung jawab nafkah atas keluarganya, sehingga tugas mereka adalah di ranah publik. Sedangkan isteri adalah sebagai ibu  rumah  tangga bertugas di  ranah  domestik, mengurusi anak dan suami. Kebijakan pemerintah pada pasal tersebut semakin melegitimasi berbagai bentuk ketidakadilan bagi perempuan. Pembagian tugas publik dan domestik dianggap bentuk diskriminasi terhadap perempuan, ditambah lagi kurang adanya penghargaan terhadap pekerjaan domestik. Adanya domestifikasi ini mendudukkan perempuan sebagai makhluk nomor dua (the second sex).

Pasal tersebut semakin menguatkan budaya patriarkhi yang beranggapan bahwa perempuan  tidak  memiliki  hak  untuk  menjadi  pemimpin  dalam  rumah  tangga, sebaliknya ia berhak untuk diatur. Pekerjaan domestik yang dibebankan kepada perempuan dilakukan bersama-sama dengan fungsi reproduksi haid, hamil, menyusui dan sebagainya. Sementara laki-laki dengan peran publiknya menurut kebiasaan masyarakat (konstruksi sosial), tidak bertanggungjawab terhadap beban kerja domestik tersebut, karena hanya layak dikerjakan oleh perempuan.

Bagi kelompok menengah ke bawah, perempuan harus bekerja pada peran publik untuk meningkatkan penghasilan ekonomi keluarga, maka semakin berat beban yang ditanggung oleh perempuan jika lingkungannya baik suami maupun anggota keluarga lainnya  tidak  ikut  menyelesaikan  tugas-tugas  domestik.  Sedangkan  bagi  kelompok menengah ke atas dan golongan kaya menurut Mansour Fakih, beban kerja rumah tangga dilimpahkan kepada pembantu (Domestic workers), sehingga diskriminasi pun terjadi pada pembantu rumah tangga.  Mereka bekerja lebih berat, tetapi mendapat upah dan penghargaan lebih rendah, hingga tanpa penghargaan, perlindungan, serta kejelasan kebijakan Negara mengenai mereka. ( M. Abdul Hamid, MA dan Nur Fadhilah, S.HI, Undang-undang Perkawinan dan Marginalisasi Perempuan : Studi Krtitis terhadap UU No. 1 Tahun 1974 ).

Menurut Budhy Munawar, sistem yang berdasarkan patriarkhi biasanya mengasingkan perempuan di rumah: dengan demikian, laki-laki lebih bisa menguasai perempuan.   Sedangkan   kedudukan   perempuan   di   sektor   domestik   menjadikan perempuan tidak mandiri secara ekonomis, dan tergantung secara psikologis.  Kadang- kadang  sistem  patriarkhi  ini  membolehkan  perempuan  aktif  di  dunia  publik  tetapi dengan  satu  catatan  idiologis,  “jangan  melupakan kodrat  sebagai  perempuan yang mengurus anak, suami dan keluarga”. Stereotype perempuan dalam psikologi tersebut, menjadi argumen mendasar yang nantinya akan membenarkan peran tradisional perempuan disektor domestik, yang anehnya justru dianggap sebagai nature perempuan. ( Budhy Munawar Rahman. 2002. Penafsiran Islam Liberal atas Isu-isu Gender dan Feminisme. Dalam Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar ). 

Yulianti Muthmainnah dari Divisi Reformasi Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan dalam tulisannya berjudul “Penting, Revisi UU Perkawinan !” mengatakan :
“ Upaya merevisi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membutuhkan sebuah proses dan perjuangan panjang para perempuan Indonesia. Selain karena membutuhkan aturan yang bisa memastikan perempuan mempunyai hak yang sama di depan hukum, UU tersebut juga harus menjamin perempuan mempunyai hak yang sama di dalam rumah tangga di mana isteri dan suami memiliki kedudukan yang setara. Institusi perkawinan menyebabkan munculnya hak dan kewajiban antar pihak, dalam hal ini isteri dan suami, sehingga rencana revisi tersebut juga untuk memastikan bahwa hak dan kewajiban isteri dan suami berimbang dan tidak mendiskriminasi salah satu pihak. Harapan terbangunnya hak dan kewajiban yang setara, sayangnya tidak sejalan dengan bunyi pasal-pasal dalam Undang-undang tersebut yang ambivalen dan sudah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat ini, terutama kebutuhan khusus perempuan. Dikatakan ambivalen karena UU Perkawinan yang sudah berumur 35 tahun ini masih mengakomodir pandangan tentang relasi yang tidak setara antara suami dan isteri—suami kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga (Pasal 31 ayat 3). Padahal Pasal 31 (1) dan (2) menyebutkan bahwa suami dan isteri berkedudukan setara dan sama-sama berhak melakukan perbuatan hukum.. Ambivalensi ini menyebabkan perempuan tetap tersubordinasi dalam relasi perkawinannya. Salah satunya, perempuan harus mendapatkan izin suami sebagai kepala keluarga termasuk izin untuk bekerja, beraktivitas di luar rumah, membeli perabotan dan kebutuhan rumah tangga atau menggunakan uang dan menyekolahkan anak. Contoh lain, tentang asas perkawinan yang monogami pada Pasal 3 ayat 1, tetapi Pasal 3 ayat 2 dan Pasal 4 membuka peluang poligami. Parahnya lagi, izin poligami dapat dimintakan pada pengadilan dan tidak ada sanksi bagi suami yang lalai, ingkar, dan menelantarkan keluarga pasca terjadinya poligami sehingga posisi isteri benar-benar lemah dan tidak memiliki bargaining power “.                       ( http://www.komnasperempuan.or.id).

Penulis sendiri berpendapat bahwa Sebagai salah satu contoh adalah seorang istri yang ditugaskan untuk mengelola dan mengatur rumah tangga, berimplikasi pada masalah ketenagakerjaan. Dalam undang-undang ketenagakerjaan, seorang perempuan yang mencari nafkah hanya dianggap sebagai pencari nafkah tambahan bukan nafkah utama. Kaum perempuan yang diletakkan pada posisi yang lemah lebih rendah dari laki-laki, merupakan konstruksi ataupun rekayasa sosial yang kemudian dikukuhkan menjadi kodrat  kultural.  Padahal  kelebihan  ketegaran  fisik  yang  diberikan  kepada  laki-laki bukan berarti laki-laki lebih kuat dan harus melindungi perempuan yang lemah.
Oleh karenanya, Undang-Undang No.1 tahun 1974 telah mendudukkan perempuan sebagai isteri (ibu rumah tangga) pada posisi diskriminatif atau dengan kata lain bahwa hukum perkawinan sampai saat ini masih mendudukkan perempuan pada posisi yang termarginalkan. Khususnya pada pasal 31 ayat (3) dan pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) yang mengatur tentang hak dan kewajiban suami istri.

Namun untuk mencapai tujuan perkawinan yang luhur dan mulia, diperlukan komunikasi dan pengertian yang baik dari pasangan suami istri dalam menjalankan dan mengaplikasikan hak dan kewajiban masing-masing. Tidak mengedapankan ego, tidak mentang-mentang dan saling menghargai hak dan kewajiban masing-masing.

3.     Analisis Undang-undang Perkawinan dari aspek usia calon mempelai dalam perkawinan
Pasal 7 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan :
(1)    Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
(2)    Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
(3)    Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).

Sesuai dengan pasal tersebut diatas, pemerintah telah mengatur batas minimal usia calon mempelai dalam perkawinan pertama. Kebijakan ini tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental. Dan penafsiran dari pasal ini adalah pemerintah tidak menghendaki pelaksanaan perkawinan di bawah usia minimal yang telah ditentukan oleh undang-undang ini. 

Jika dianalisis lebih jauh, peraturan batas usia minimal calon mempelai dalam perkawinan ini memiliki kaitan yang cukup erat dengan masalah kependudukan. Dengan adanya batasan usia, Undang-Undang Perkawinan bermaksud untuk  merekayasa untuk  tidak mengatakan menahan laju perkawinan yang membawa akibat pada laju pertambahan penduduk. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa ternyata batas usia yang rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran lebih tinggi dan berakibat pula pada kematian ibu hamil yang juga cukup tinggi.

Namun ternyata ketentuan tersebut juga tidak berlaku secara mutlak. Karena di ayat (2) pasal ini juga diatur tentang dispensasi atau penyimpangan terhadap batas usia minimal pada perkawinan pertama. Ketentuan Pasal 7 ayat (2) ini mengandung pengertian bahwa perkawinan dibawah umur dapat dilakukan apabila ada permintaan dispensasi yang dimintakan oleh salah satu pihak orang tua dari kedua belah pihak yang akan melakukan perkawinan. Apalagi dalam pasal 7 ayat (3) UUP secara tidak langsung menyatakan bahwa permintaan dispensasi tersebut dapat dimintakan kepada pengadilan atau pejabat lainnya dengan alasan bahwa hukum masing – masing agama dan kepercayaan dari yang bersangkutan memperbolehkannya (vide pasal 6 ayat (6) UU Perkawinan).

Bahwa Ketentuan pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) UUP tersebut seolah – olah membuat Undang Undang Perkawinan tersebut menjadi tidak tegas (firm) dan strict, karena dengan demikian Undang – Undang No. 1 tahun 1974 sesungguhnya tidak melarang perkawinan dibawah umur jika agama dan kepercayaan yang bersangkutan tidak menentukan lain, yang artinya secara tidak langsung batas usia minimum untuk melaksanakan suatu perkawinan dapat dikompromikan atas dasar suatu keyakinan/kepercayaan. Celah hukum seperti inilah yang mungkin dapat dipakai oleh pihak – pihak yang ingin mengambil keuntungan dari dilakukannya perkawinan dibawah umur tersebut. (http://www.lbhmawarsaron.or.id).

Masalah pembatasan usia minimal calon mempelai dalam perkawinan pertama sangatlah penting, karena suatu perkawinan di samping menghendaki kematangan biologis juga psikologis. Keuntungan lainnya yang diperoleh adalah kemungkinan keretakan rumah tangga yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari, karena pasangan tersebut memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan perkawinan yang menekankan pada aspek kebahagiaan lahir dan batin. Maka dalam penjelasan umum undang-undang perkawinan dinyatakan, bahwa : calon suami-istri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar supaya dapat mewujudkan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. 

Tetapi fenomena penyimpangan terhadap batas minimal usia calon mempelai dalam perkawinan pertama yang terjadi di tengah masyarakat sangatlah memprihatinkan. Perkawinan di bawah umur cukup menarik menjadi perhatian berbagai kalangan, hal tersebut terjadi karena sebenarnya fenomena pernikahan di bawah umur seperti fenomena gunung es yang kelihatan sedikit diatasnya padahal dalam dataran faktanya sangat banyak terjadi di kalangan masyarakat Indonesia. Perkawinan di bawah umur menimbulkan banyak masalah sosial yang di lain sisi juga menimbulkan masalah hukum. Kontroversi perkawinan di bawah umur memang menjadi perdebatan terutama berkenaan dari batasan usia minimal bagi seorang anak untuk kawin, dengan tentunya selama ini yang terjadi adalah persinggungan diantara dua sistem hukum, yaitu hukum Islam dan hukum nasional terutama yang masing-masing mengatur tentang perkawinan dan hak-hak atas anak sebagai pihak yang menjadi subyek dalam perkawinan tersebut. (http://aanpisces.wordpress.com). Selain itu banyak kasus yang menunjukkan bahwa angka perceraian yang tinggi cenderung didominasi  oleh akibat  perkawinan  di bawah umur.

Secara metodologis,  langkah penentuan usia kawin didasarkan kepada metode maslahat mursalah yang berlandaskan fakta sosial. Namun demikian karena sifatnya yang ijtihadiyah, yang kebenarannya relatif, ketentuan tersebut tidak bersifat  kaku. Artinya, apabila karena sesuatu hal perkawinan  dari mereka  yang usianya di bawah ketentuan, Undang- undang tetap memberikan jalan keluar. Pasal 7 (2) menegaskan: ―Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”.

Selain itu Undang-Undang Perkawinan ini juga tidak konsisten. Di satu sisi, pasal 6 ayat (2) menegaskan bahwa untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua, di sisi lain pasal 7 (1) menyebutkan perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai  umur  16  (enam  belas)  tahun.  Rupanya  titik  perbedaannya  adalah  jika kurang dari 21 tahun, yang diperlukan adalah izin orang tua, dan jika kurang dari 19  atau 16, perlu izin pengadilan. Ini dikuatkan oleh pasal 15 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.

Tetapi batas umur terendah untuk menikah di Indonesia relatif cukup tinggi untuk laki-laki dan termasuk rendah untuk perempuan dibandingkan dengan batasan umur calon mempelai yang berlaku di beberapa negara islam. Dalam tingkat pelaksanaannya, batas umur kawin bagi perempuan yang sudah rendah itu masih belum tentu dipatuhi sepenuhnya. Untuk mendorong agar orang kawin di atas batas umur terendahnya, sebenarnya pasal 6 ayat (2) telah memberikan  ketentuan  bahwa  untuk  melangsungkan  perkawinan  bagi  seseorang yang belum berumur 21 tahun harus mendapat izin dari orang tua. Tetapi dalam kenyataannya justru seringkali pihak orang tua sendiri yang cenderung menggunakan batas umur terendah itu atau bahkan lebih rendah lagi.

Adanya dispensasi bagi calon mempelai yang kurang dari 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita, boleh jadi didasarkan kepada nash hadis pengalaman aisyah ketika di nikahi Rasulullah SAW “Rasulullah saw menikah dengan Aisyah dalam usia enam tahun, dan beliau memboyongnya ketika ia berusia 9 tahun, dan beliau wafat pada waktu dia berusia delapan belas tahun. Riwayat Muslim “. Kendati pun kebolehan  tersebut harus dilampiri izin dari pejabat untuk itu. Ini  menunjukkan  bahwa  penanaman  konsep  pembaharuan  hukum  Islam  yang memang bersifat Ijtihadiyah, diperlukan waktu dan usaha terus-menerus. Ini dimaksudkan, pendekatan konsep maslahat mursalah dalam Hukum Islam di Indonesia,  memerlukan  waktu  agar  masyarakat  sebagai  subyek  hukum  dapat menerimanya dan menjalankannya dengan suka rela tanpa ada unsur pemaksaan. (Sudirman, Pembatasan Usia Minimal Perkawinan : Upaya Meningkatkan Martabat Perempuan ).

Terlepas dari hukum formal yang mengatur usia perkawinan, kawin muda merupakan fenomena yang terkait erat dengan nilai-nilai sosial budaya agama yang hidup dalam masyarakat. Dalam konteks Indonesia, perkawinan lebih condong sebagai  ― kewajiban  sosial   daripada  manifestasi  kehendak  bebas  tiap  individu. Dalam masyarakat yang pola hubungannya bersifat tradisional, perkawinan dipersepsikan  sebagai suatu ― keharusan sosial yang merupakan bagian dari warisan tradisi dan dianggap bersifat sakral. Sedangkan dalam masyarakat  rasional modern, perkawinan lebih dianggap sebagai kontrak sosial, dan karenanya sering merupakan sebuah pilihan. Cara pandang terhadap perkawinan sebagai kewajiban sosial kiranya memilki  kontribusi  cukup  besar terhadap  fenomena kawin  muda  yang terjadi  di Indonesia. ( Indraswari, Fenomena Kawin Muda dan Aborsi : Gambaran Kasus, dalam Syafiq Hasym (ed.) Menakar “Harga” Perempuan, 1999, Mizan, Bandung Cet. Ke-2 ).

Dalam  penelitian  yang  dilakukan  oleh  Indraswari,  dengan  responden  25 orang dengan komposisi usia kawin pertama 10-13 tahun sebanyak 7 orang (28%) dan 14-16 tahun sebanyak 18 orang (72%) menggambarkan betapa pernikahan dini seringkali menjadi bumerang dalam perkawinan.
Sejalan dengan tingkat pendidikan responden yang kebanyakan lulusan SD , usia kawin pertama bagi sebagian besar responden adalah 14-16 tahun (72%), yakni usia pada saat mereka menyelesaikan pendidikan dasar. Adapun sisanya (28%) justru tidak sempat menyelesaikan pendidikan dasar.

Para penggiat hak perempuan dalam mengajukan revisi UU Perkawinan, khususnya terhadap pasal yang mengatur usia perkawinan menyampaikan hal-hal sebagai berikut :
  • Bahwa pasal 7 UU Perkawinan telah membedakan  usia laki-laki yakni dua tahun lebih tua dari pada usia perempuan yang dipersyaratkan. Asumsi di balik pembedaan usia ini adalah karena laki-laki diharapkan menjadi pemimpin dan pencari nafkah  keluarga sehingga dituntut lebih dewasa dari calon istri, pihak yang akan dipimpin. Asumsi ini sejalan dengan pasal 31 ayat 3 yang menyatakan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.
  • Bahwa pembedaan usia ini jelas memuat asumsi yang bias jender. ( lihat argumentasi penghapusan pasal 31 ayat 3).
  • Bahwa usulan perubahan pasal 7 ayat (1) menjadi “ Perkawinan hanya diijinkan jika kedua belah pihak berumur diatas 18 (delapan belas) tahun”.
  • Bahwa usulan diatas 18 tahun tanpa pembedaan usia atas dasar jenis kelamin merupakan implementasi dari berbagai UU yang ada , khususnya UU Perlindungan Anak yang menetapkan usia anak-anak adalah di bawah 18 tahun.  (http://www.lbh-apik.or.id//amandemenuup-pokokpikiran.html).
Yulianti Muthmainnah dari Divisi Reformasi Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan dalam tulisannya berjudul “Penting, Revisi UU Perkawinan !” mengatakan :
“ Ketentuan dalam Undang-undang Perkawinan ini tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dewasa ini karena, pertama, batas usia untuk menikah yang masih terlalu muda bagi perempuan, yakni 16 tahun (Pasal 7). Usia boleh menikah pada umur 16 tahun bagi perempuan akan memberikan kerentanan pada kesehatan organ reproduksi perempuan. Kondisi ini akan beresiko pada terjadinya kematian ibu dan peningkatan jumlah angka kematian ibu (AKI) karena ibu hamil dan melahirkan pada usia di bawah 20 tahun. Nyatanya AKI tahun 2007 di Indonesia masih mencapai 307/100.000 pada kelahiran hidup. Millennium Development Goals (MDGs) Tujuaan 5 menyatakan meningkatkan Kesehatan Ibu yang kemudi`n terumuskan dalam Target 6 menjadi Menurunkan Angka Kematian Ibu sebesar Tiga Perempatnya antara 1990 – 2015 (Laporan MDGs 2007, Bappenas). Seharusnya persoalan AKI menjadi salah satu prioritas pemerintah dalam melakukan program pembangunan. Nyatanya, hingga saat ini belum ada perundang-undangan atau regulasi yang melarang perkawinan usia muda dan beresiko yang salah satu isinya adalah mengatur batas usia untuk menikah “. ( http://www.komnasperempuan.or.id).

Penulis sendiri berpendapat bahwa salah satu prinsip yang dianut undang-undang ini, calon suami istri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan memperoleh keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami isteri yang masih dibawah umur. Adanya penetapan umur 16 tahun bagi wanita untuk diizinkan kawin berarti dipandang sebagai ketentuan dewasa bagi seorang wanita. Dengan mengacu pada persyaratan ini, jika pihak calon mempelai wanita di bawah umur 16 tahun, maka yang bersangkutan dikategorikan masih di bawah umur dan tidak cakap untuk bertindak di dalam hukum termasuk melakukan perkawinan. Namun demikian, ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Perkawinan mengenai syarat umur 16 tahun bagi wanita sebenarnya tidak sesuai dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Dalam undang-undang tersebut, perumusan seseorang yang dikategorikan sebagai anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, sehingga ketentuan dewasa menurut undang-undang ini adalah 18 tahun. Undang-Undang Perlindungan Anak pun mengatur bahwa orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Prinsip yang dianut dalam Undang-Undang Perkawinan maupun Undang-Undang Perlindungan Anak, walaupun kedua undang-undang tersebut menentukan umur yang berbeda dalam penentuan kedewasaan, tidak menginginkan terjadinya perkawinan di bawah umur. Hanya saja undang-¬undang tidak mencantumkan sanksi yang tegas dalam hal apabila terjadi pelanggaran, karena perkawinan adalah masalah perdata sehingga apabila perkawinan di bawah umur terjadi maka perkawinan tersebut dinyatakan tidak memenuhi syarat dan dapat dibatalkan. Ketentuan ini sebenarnya tidak menyelesaikan permasalahan dan tidak adil bagi wanita. Bagaimanapun jika perkawinan sudah berlangsung pasti membawa akibat, baik dari aspek fisik maupun psikis.