Selasa, 26 Juli 2016

PROFIL RAJA BELAMBANGAN KE-2

PROFIL PANGERAN DIPATI RAYI - PRABU SASRANEGARA

(Raja Blambangan-Banyuwangi ke-2)

Nama Asli: Mas Sasranegara
Gelar: Dipati Rayi
Jabatan sebelum menjadi raja: Patih Kiwa (urusan dalam Keraton Macanputih)
Nama ayah: Sri Susuhunan Prabu Tawangalun II
Nama ibu: Dewi Sumekar
Memerintah: Selama 27 hari di tahun 1691.
Nama Istri: Mas Ayu Gading (puteri Untung Suropati)
Nama anak:
1. Mas Purba/Danurejo (ayah Agung Wilis)
2. Puteri Mas Ayu Tawi

Sedikit kisah:
Saat Kapten Yan Barvelt dan Letnan Yan Francen menemui Tawangalun II di Macan Putih, tanggal 18 September 1691, Tawangalun II mangkat dalam usia 71 tahun. Karena dia penganut hindu, tentu dia dikremasi.
Tawangalun II memiliki banyak anak, diantara mereka ada satu anak angkat yang dianggap sebagai anak tertua. Anak angkat tersebut merupakan putera Sultan Agung Mataram dengan Dewi Sumekar sebelum wanita itu menjadi permaisuri Tawangalun II.
Anak angkat itu bernama Mas Macanapura, dia Mas Macanapura sangat berambisi menjadi penguasa Blambangan dengan dukungan Mataram dan VOC. Kenapa Mataram mendukung? Tentu karena Pangeran Macanapura adalah paman dari Sunan Amangkurat II. Nah, Ambisi itu tentu ditolak oleh Mas Sasranegara selaku anak tertua Sri Susuhunan Prabu Tawangalun II sehingga terjadi perebutan kekuasaan.
Faktanya, Sri Susuhunan Prabu Tawangalun II telah mengamanatkan tahta pada Pangeran Sasranegara yang sangat anti VOC dan dekat dengan raja-raja Bali. Karena itu Pangeran Macanagara mengutus Ngabehi Sutanaga (sahabatnya Untung Suropati) untuk membunuh Raja Blambangan yang baru memerintah selama 27 hari itu menggunakan senjata Sumpit Si Baru Klitik yang dicuri dari Buyut Wongsokaryo sebagai upaya mengadu domba antara guru dan murid.
Pangeran Sasranegara tewas, Buyut Wongsokaryo dipersalahkan. Dia akhirnya mengundurkan diri dari jabatan sebagai Senopati agul-agul Kraton Macan Putih. Kembali ke desa dan membaur dengan masyarakat. Dia membuka desa yang kemudian disebut Cungking.
Melihat kelicikan Amangkurat II yang tidak jantan seperti itu, Untung Suropati segera menghukum Ngabehi Sutanaga dan membawa putera-puteri Prabu Sasranegara untuk dilindungi di Pasuruan.
Selanjutnya Mas Macanapura memerintah di Blambangan Timur dari Panarukan, hingga Banyuwangi, sedangkan wilayah Blambangan Barat dari Banger, Lumajang hingga Puger/Jember diminta oleh Untung Suropati.Sejak itu Lumajang dan Banger terlepas dari Blambangan.
Selanjutnya Mas Macanapura bergelar Pangeran Pati I naik menjadi Raja Blambangan yang berkuasa selama tujuh tahun dari tahun 1691-1697. Sejak kekuasaan Blambangan dipegang Pangeran Macanapura, arah kerjasama Blambangan yang semula dengan raja-raja Bali berubah memihak Mataram dan VOC.

PROFIL RAJA BELAMBANGAN KE-3

PROFIL PANGERAN PATI I MAS MACANAPURA

(Raja Blambangan ke-3 di Banyuwangi yang 'ternyata' keturunan Mataram)

Nama: Mas Macanapura
Gelar: Pangeran Pati I
Masa Jabatan: 1691-1697
Nama Ayah: Sultan Agung Hanyokrokusumo (Sultan Mataram ke-4)
Nama Ibu: Dewi Sumekar
Nama Kakek: Arya Blatter
Ayah Tiri: Sri Susuhunan Prabu Tawangalun II
Sekilas cerita:
Sultan Agung Mataram memiliki istri selir bernama Dewi Sumekar yg berasal dari Blatter di timur Puger (Jember). Dia telah lama berambisi menaklukkan seluruh Jawa namun kesulitan menaklukkan Blambangan dan Sumedang. Hingga ketika Sultan akan meninggal, dia punya ide untuk menyerahkan selirnya yg tengah hamil muda itu diberikan kepada Raden Mas Kembar, putera mahkota Kerajaan Blambangan-Kedhawung (Umbulsari Jember).
Ketika Mas Kembar baru naik tahta bergelar Tawangalun II, terjadi pemberontakan adiknya sendiri yaitu Mas Wilabrata sehingga dia mengungsi ke Bayu (Songgon, Banyuwangi), selanjutnya mendirikan kota Macanputih. Disana anak selir itu kemudian dinamai Mas Macanapura (anak dari kota Macan).
Tahun selanjutnya lahirlah anak pertama Mas Kembar dengan Dewi Sumekar yg dinamai Mas Sasranegara. Dia ditetapkan sebagai PUTERA MAHKOTA. Persaingan terjadi antara Mas Macanapura (Putera Tertua) melawan Mas Sasranegara (Putera Pertama). Putera Tertua mencari dukungan ke Mataram, Madura, dan Kompeni, sedangkan Putera Pertama mencari dukungan ke Klungkung, Buleleng, dan Mengwi.
Sunan Amangkurat II dari Mataram mengutus Ngabehi Sutanaga (sahabat Untung Suropati, Tumenggung Pasuruan) untuk membunuh Mas Sasranegara dg menggunakan sumpit milik Buyut Wongsokaryo (guru Mas Sasranegara sendiri). Mas Sasranegara tewas, Buyut Wongsokaryo dituduh sebagai pelakunya.
Selanjutnya Mas Macanapura naik tahta bergelar Pangeran Pati I yang berkuasa selama tujuh tahun dari tahun 1691-1697. Sejak itulah Blambangan yang bertahun2 ingin ditaklukkan Mataram dg peperangan akhirnya takluk dg cara "penyusupan". Kerjasama Blambangan yang semula dengan raja-raja Bali berubah memihak Mataram dan Kompeni sehingga raja-raja Bali memusuhi Blambangan dan ingin menaklukkannya.
Untung Suropati merasa dihianati oleh Mataram dan segera mendeklarasikan Kerajaan Pasuruan Merdeka dan terlepas dari Mataram. Dia membawa putera-puteri mendiang Pangeran Dapati Rayi Mas Sasranegara ke Pasuruan dan dinikahkan dengan anak2 Untung Suropati sendiri. Mataram bekerjasama dengan VOC untuk melawan Untung Suropati.
Tahun 1692, Jan Francen dari VOC datang ke Blambangan untuk meminta bantuan dalam menggempur Untung Suropati. Saat sibuk melawan Untung Suropati, Raden Mas Purba putera mendiang Prabu Sasranegara bekerjasama dengan Gusti Ngurah Panji Kartanegara (bangsawan Buleleng-Bali), ikatan ini memberinya tambahan kekuatan selain dari Pasuruan, apalagi setelah dia menikahi anak Gusti Ngurah Panji Kertanegara.
Tahun 1697, Mas Purba yang didukung seluruh keluarga kerajaan Blambangan Macan Putih karena Pangeran Pati I Mas Macanapura dianggap bukan keturunan asli Tawangalun II membalaskan dendam ayahnya dengan menggulingkan kekuasaan Pangeran Pati I Mas Macanapura. Kudeta ini dibantu penuh oleh Kerajaan Buleleng dan Kerajaan Pasuruan.
Pangeran Pati I Mas Macanapura melarikan diri bersama keponakannya, Mas Ayu Surabaya, melalui Garahan-Sentong/Bondowoso-Besuki-Banger/Probolinggo. Di Banger dia berjumpa Mas Kertanagara (anak ketiga Sri Susuhunan Prabu Tawangalun II, yang berada di pihaknya). Kemudian Pangeran Pati I Mas Macanapura dan Pangeran Kertanagara mencari suaka pada keponakanya, Amangkurat II di Kartasura.

LEGENDA JATI PAPAK

JATI PAPAK:

Jejak Susuhunan Kalijaga di Bumi Blambangan tahun 1479
.
Adalah Tunggak Pohon Jati raksasa di Alas Purwo yg merupakan pohon pilihan Syeikh Siti Jenar untuk digunakan Susuhunan Kalijaga sebagai tiang atau "SOKO TATAL" tiang Masjid Demak.
.
MASJID Agung Demak yang dibangun Raden Fatah dan dibantu para wali pada tahun 1479 oleh sebagian rakyat dipercayai memiliki keterkaitan dengan Bumi Blambangan.
Dari empat tiang (soko guru) kayu jati masjid itu, salah satunya berasal dari Alas Purwo, Banyuwangi.
.
Empat tiang yang dipancangkan di Masjid Agung Demak itu dipasang sesuai penjuru mata angin. Tiang di barat laut didirikan Susuhunan Bonang (keponakan Syaikh Siti Jenar), di barat daya karya Susuhunan Gunung Jati (murid n menantu Syaikh Siti Jenar), di bagian tenggara buatan Susuhunan Ampel (paman Syaikh Siti Jenar), dan yang berdiri di timur laut karya Susuhunan Kalijaga (murid n menantu Syaikh Siti Jenar). Pohon jati yang digunakan Susuhunan Kalijaga untuk tiang masjid itu berasal dari Alas Purwo.
Mitos-mitos Seputar Jati Papak:
1. Berdasar cerita turun temurun yang berkembang di masyarakat tunggak jati (Jati Papak) atau bekas potongan pohon yang digunakan Susuhunan Kalijaga itu tidak terlihat secara kasat mata.
2. Hanya orang dengan hati yang bersih bisa diperlihatkan letak tunggak pohon jati tersebut.
3. Pohon jati di Alas Purwo itu sampai Demak dibawa sejumlah katak melalui jalur laut.
4. Pohon jati yang diambil dari Alas Purwo itu berpindah langsung menjadi penopang kekuatan soko tatal (dari serpihan patahan kayu) yang diikat Susuhunan Kalijaga.
Terlepas dari semua mitos itu, sejarah kayu yang dibuat soko guru (tiang) Masjid Agung Demak berasal dari alas Purwo itu sudah lama, terutama bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan Alas Purwo. Selain digunakan sebagai tiang di Masjid Agung Demak, bagian pucuk pohon jati ditanam di Pura Puncak Jati, Jembrana, Bali. Ini cukup menggambarkan bagi kita tentang adanya toleransi yg kuat pada masa itu.
Tunggak pohon jati yang kini dikenal Situs Jati Papak itu kali pertama ditemukan sekitar tahun 1995 oleh seorang pejabat KPH Perhutani Banyuwangi Selatan yang melihat sebuah sinar. Dia mengajak warga sekitar untuk mencari sumber sinar tersebut.
Setelah ditemukan, ternyata sumber itu berasal dari sebuah papak atau tunggak bekas potongan kayu jati berukuran besar.
Tahun 1997 Jati Papak mulai dipelihara dan dilestarikan menjadi situs. Letak Situs Jati Papak berada di tengah hutan, masuk kawasan Taman Nasioal Alas Purwo. Lokasi itu berjarak sekitar 15km dari pusat kota Kecamatan Tegaldlimo, dan berjarak sekitar 76km dari Kota Banyuwangi.
Sejak ditemukan dan ditetapkan menjadi situs, Jati Papak sering didatangi warga. Dia antara pengunjung juga banyak yang bermalam. Ironisnya, mereka ada yang pulang sambil memotong bagian dari tunggak tersebut. Akibat banyak tangan jahil itu, Situs Jati Papak yang dulu mengilat dan rata, kini sudah tak berbentuk.
Merasa prihatin peninggalan sejarah itu rusak, pada tahun 2013 Paguyuban Peduli Lingkungan Manik Purwa Buwana memberikan pagar pembatas dan memberi atap menyerupai pondok pesarean seluas sekitar 25 meter persegi.
Di tempat itu juga diberi papan peringatan berisi larangan agar tidak mengambil, mengubah, dan merusak Jati Papak.
Pembangunan Lapter (Lapangan Terbang) Jati Papak:
Tahun 2012, sebuah landasan lapter telah dibangun di dekat Jati Papak. Sebuah gedung juga sudah berdiri. Gedung tersebut bersebelahan dengan Pos Jaga TNAP Jati Papak. Lapter tersebut difungsikan sebagai tempat pendaratan pesawat dua awak untuk memudahkan pengunjung yang ingin ke Wisata Plengkung.


SEJARAH SINGKAT SITUS BITING LUMAJANG


Sejarah Singkat Situs Biting Lumajang
(salah satu titik awal leluhur Blambangan)


Situs Biting lumajang merupakan sebuah Situs Sejarah yang terletak di desa Kutorenon, kecamatanSukodono, lumajang, ProvinsiJawa Timur. Situs arkeologis peninggalan abad XIII ini diperkirakan adalah peninggalan dari kerajaan Lamajang.
Kawasan Situs Biting adalah sebuah kawasan ibukota kerajaan Lamajang Tigang Juru yang dipimpin Arya Wiraraja yang dikelilingi oleh benteng pertahanan dengan tebal 6 meter, tinggi 10 meter dan panjang 10 km.
Hasil penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta tahun 1982-1991, Kawasan Situs Biting memiliki luas 135 hektar yang mencakup 6 blok/area:
1. Blok keraton seluas 76,5 ha, b
2. Blok Jeding 5 ha,
3. Blok Biting 10,5 ha,
4. Blok Randu 14,2 ha,
5. Blok Salak 16 ha, dan
6. Blok Duren 12,8 ha.
Nama Lumajang berasal dari "Lamajang" yang diketahui dari penelusuran sejarah, data prasasti, naskah-naskah kuno, bukti-bukti petilasan, dan hasil kajian pada beberapa seminar dalam rangka menetapkan hari jadinya.
Beberapa bukti arkeologis yang terkait kerajaan lamajang antara lain, Prasasti Mula Malurung, Naskah Negara Kertagama, Kitab Pararaton, Kidung Harsa Wijaya, Kitab Pujangga Manik, Babad Tanah Jawi, dan Serat Kanda dan beberapa prasasti lainya.
Karena Prasasti Mula Manurung dinyatakan sebagai prasasti tertua dan pernah menyebut-nyebut "Negara Lamajang" maka dianggap sebagai titik tolak pertimbangan hari jadi Lumajang.
Prasasti Mula Manurung ini ditemukan pada 1975 di Kediri. Prasasti ini ditemukan berangka 1177 Tahun Saka, mempunyai 12 lempengan tembaga.
Pada lempengan VII halaman a baris 1 - 3 prasasti Mula Manurung menyebutkan "Sira Nararyya Sminingrat, pinralista juru Lamajang pinasangaken jagat palaku, ngkaneng nagara Lamajang."
Arti dari tulisan prasasti itu adalah : Beliau Nararyya Sminingrat (Wisnuwardhana) ditetapkan menjadi juru di Lamajang diangkat menjadi pelindung dunia di Negara Lamajang tahun 1177 Saka.
Dalam Negarakertagama, kawasan ini disebut Arnon dan dalam perkembangannya pada abad ke-17 disebut Renong dan dewasa ini masuk dalam desa Kutorenon yang dalam cerita rakyat identik dengan "Ketonon" atau terbakar. Nama Biting sendiri merujuk pada kosa kata Madura bernama "Benteng" karena daerah ini memang dikelilingi oleh benteng yang kokoh
Berdasarkan penghitungan kalendar kuno, prasasti tersebut diketahui dalam tahun Jawa pada tanggal 14 Dulkaidah 1165 atau tanggal 15 Desember 1255 M.
Mengingat keberadaan Negara Lamajang sudah cukup meyakinkan, yakni pada 1255M itu Lamajang sudah merupakan sebuah negara berpenduduk, mempunyai wilayah, mempunyai raja (pemimpin) dan pemerintahan yang teratur, maka ditetapkanlah tanggal 15 Desember sebagai hari jadi lumajang yang dituangkan dalam Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Lumajang Nomor 414 Tahun 1990 tanggal 20 Oktober 1990.
Upaya konservasi Arkeologi oleh Masyarakat Peduli Peninggalan Majapahit (MPPM) Timur Pada tahun 2010, lahir sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat bernama Masyarakat Peduli Peninggalan Majapahit Timur (MPPM Timur) yang melakukan advokasi pelestarian Situs Biting. Setelah itu juga Komunitas Mahasiswa Peduli Lumajang (KMPL) bergerak dalam advokasi ini dan kemudian juga elemen masyarakat lokal Biting juga mulai sadar akan peninggalan sejarah yang ada di wilayahnya.
Advokasi yang dilakukan oleh para pelestari SitusBiting telah melahirkan berbagai event seperti Napak Tilas yang telah digelar selama 2 kali berturut-turut, lomba lukis benteng maupun seminar Nasional. Untuk acara Napak Tilas kemudian menjadi agenda resmi Pariwisata JawaTimur dari Kabupaten lumajang yang akan diadakan setiap bulan juni.
Pelestarian Situs Biting di Lumajang Jawa Timur merupakan contoh bagi para pecinta dan pelestari sejarah dimana LSM, mahasiswa maupun masyarakat telah bahu-membahu melakukan sosialisasi maupun advokasi terhadap peninggalan sejarah.
Pembangunan Perumahan oleh perum PerumnasNamun kini sangat Ironis dan sangat disayangkan banyak fihak, Pengembangan Proyek perumahan oleh Perum Perumnas masih terus berlanjut dan membuat keberadaan Situs yang diyakini sebagai peninggalan majapahit timur ini semakin memprihatinkan, kerusakan pada sisa peninggalan bersejarah semakin parah dan kritis dikawasan benteng sebelah barat perumahan.
Padahal pemerintah Kabupaten Lumajang sebenarnya telah membentuk Tim peletarian dan Perlindungan Cagar Budaya Kabupaten Lumajangdengan SK Bupati 188.45/41/427.12/2011 tanggal 23 Februari 2011 yang kemudian menghasilkan rekomendasi untuk melindungi Situs Biting sebagai Kawasan Cagar Budaya. Disamping itu Kementrian Sekretariat Negara juga telah mengirimkan surat kepada Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Direktorat Jendral Sejarah dan Purbakala, Direktorat Peninggalan Purbakala dan Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur dengan surat B-335/Kemsetneg/D-3/Ormas-LSM/SR.02/11/2011 pada tanggal 2 Novemver 2011 yang meminta penanganan masalah Situs Biting sebagaimana laporan dari LSM MPPM Timur.
Tindak lanjut daripada hal tersebut, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur melalui surat KS.002/0672/BP3JT/KPK/2012 menurunkan Tim Verivikasi untuk melakukan langkah pendataan Cagar Budaya Kabupaten Lumajang termasuk dengan prioritas Situs Biting.
.
.
SITUS BITING LUMAJANG
Menilik Struktur Bangunannya Situs Biting Lumajang adalah Sebuah Benteng Raksasa Atau salah satu benteng terbesar yang ada di Indonesia, Fakta ini Mencerminkan Bahwa Lamajang adalah merupakan bekas sebuah kerajaan besar.
Mengingat Situs Bituing lumajang adalah suatu peninggalan arkeologis milik bangsa dan seluruh rakyat indonesia khususnya masyarak lumajang Seyogyanya kepada Pemerintah atau Dinas terkait agar Meninjau ulang kembali kebijakan yang berupa perizinan pembangunan di seputar areal situs Biting lumajangdan Siapapun warga Negara Indonesia Wajib berbangga memiliki Aset hasil Mahakarya leluhur bangsanya sendiri dan mendukung upayaPelestarian Situs Biting Lumajang Agar Menjadi Kawasan Cagar Budaya Nasional Sesuai dengan Undang-undang No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.
(Utsman khusniawan)
http://badanarkeologinasional.blogspot.my