SEJARAH PROBOLINGGO
Dibandingkan dengan kota-kota pesisir
Jawa Timur lainnya seperti Surabaya, Tuban atau Gresik, maka Probolinggo
relatif kurang dikenal dimasa lalu. Oleh sebab itu sejarah masa lalunya
sebelum jatuh ketangan VOC agak kurang dikenal
(red: Valentijn
seorang pendeta tentara Balanda yang sering melakukan perjalanan ke
berbagai tempat di Hindia Belanda antara th. 1724-1726, tidak pernah
menyebutkan sama sekali tentang Probolinggo. Peristiwa penting tentang
Probolinggo dari pihak VOC baru muncul pada th. 1761, ketika ada
pergantian jabatan penguasa Pantai Utara dan Timur Laut Jawa, Nicolas
Hartingh kepada penggantinya Ossenbergh. Laporan ini antara lain
mengatakan bahwa: Banger (nama lama Probolinggo ), meskipun keciltapi
letak bagus ….” Ini membuktikan bahwa Probolinggo pada abad ke 18, sudah
menarik perhatian, karena letaknya yang strategis).
Seperti
hampir semua kota-kota pesisir Utara Jawa, Probolinggo juga terletak
dimuara sungai. Sungai utama yang melalui kota Probolinggo tersebut dulu
namanya Kali Banger (red: Banger dalam bahasa Jawa berati bau busuk,
yang khas).
Itulah sebabnya sampai tahun 1765, Probolinggo masih
dikenal dengan nama Banger (red: Yang mengganti nama Banger menjadi
Probolinggo adalah Bupati Tumenggung Jayanegara pada tahun 1768; lihat
Hageman, Oosterlijk Java en Madoera, II. MS.118, paragraf 72) (Kumar,
1983:82).
Sebelum dikuasai Belanda, kota ini ada di bawah
kekuasaan Pakubuwono II dari Mataram. Baru setelah perjanjian tanggal 11
Nopember 1743, antara VOC dan Mataram, Probolinggo diserahkan
sepenuhnya kepada VOC (Kumar, 1983:82).
Pada saat penyerahan kota
ini kepada VOC, tercatat bahwa Banger (nama Probolinggo dulu), hanya
merupakan permukiman dengan sekitar 50keluarga dan selanjutnya
diperintah langsung oleh VOC (Gill, 1995:275). Data sejarah sebelum masa
itu sulit di dapat.
Bupati pertama Probolinggo adalah Kyai
Jayalelana (Joyolelono, red), yang memerintah atas nama VOC. Kyai
Jayalelana adalah anak laki-laki Kyai Bun Jaladriya dari Pasuruan. Tapi
pada tahun 1768, Kyai Jayalelana diturunkan dari jabatannya dan kemudian
dipenjarakan, karena dianggap oleh pihak VOC tidak setia ketika terjadi
puncak konflik antara VOC dan Blambangan padath.
1768 (Kumar,
1983:82). Sampai sekarang Kyai Jayalelana masih dianggap sebagai orang
suci bagi masyarakat Probolinggo. Pada masa pemerintahan Daendels
(1808-1811), tepatnya pada th. 1810, Probolinggo dijual sebagai tanah
pertikelir kepada Kapiten Han Tik Ko (red: Han TikKo kemudian dikenal
dengan sebutan: “Babah Tumenggung Probolinggo”, yang menempati Kabupaten
baru. Letaknya disebelah Selatan Alun-alun.
Pada jaman Daendels
tidak hanya Probolinggo yang jatuh ketangan orang Cina kaya, tapi juga
Besuki dan Panarukan disewakan kepada Han Boeijko (Han Boei Ko) seorang
Kapiten dari Surabaia (lihat Rapport van de Landschappen Besoeki en
Panaroekan 1813, MS AN, kode; Probolinggo, no.6d, hal.7-8).
Lihat juga buku Nusa Jawa (Gramedia Pustaka Umum, Jakarta), Denys
Lombard (1996), jilid 2, hal. 81 dan seterusnya) dari Pasuruan, seharga
1.000.000 ringgit (rijksdaalders) (red: Rappoert van het landscap
Probolinggo, hal. 22. Pada waktu itu Afdeling Probolinggo luasnya 36.5
mil persegi, yang meliputi 382 desa. Jumlah penduduknya 39.982 jiwa.
Terdiri dari 38.800 Pribumi, 629 Cina, 61 Eropa, 22 Melayu dan lain-lain
161 jiwa).
Tapi pada th. 1814 terjadi pemberontakan atas
kekuasaan Han Tik Ko. Pemberontakan berdarah tersebut dibantu oleh
orang-orang Inggris yang akhirnya Probolinggo dapat dibebaskan kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar